Selama berabad-abad para ahli berdebat soal bagaimana leher jerapah bisa begitu menjulang. Beberapa ahli mengatakan leher panjang itu untuk membantu jerapah memakan dedaunan yang tak bisa dipetik hewan lain. Kompetisi, itu intinya, selain leher yang panjang tersebut juga bermanfaat bagi jerapah untuk memilih dedaunan yang disukainya yang mungkin tumbuh di bagian tengah sebuah pohon.Beberapa ahli yang lain menduga leher jerapah berevolusi menjadi seperti itu karena kakinya juga berevolusi serupa, yakni tinggi atau panjang. Kaki yang bongsor dibutuhkan jerapah untuk menghindari terkaman predator. Dengan kaki yang panjangnya bisa mencapai 1,8 meter, jerapah bisa berlari sampai 55 kilometer per jam.Lalu bayangkanlah kalau dengan kaki seperti ini, lehernya ternyata pendek saja. Jerapah tentu akan kesulitan setiap kali hendak minum.Kedua teori di atas kedengaran masuk akal, tapi, sayang, bukti-bukti pendukungnya sangat lemah. Teori seleksi alam yang paling didukung, yakni leher panjang memberi keuntungan bagi jerapah ketimbang hewan pengunyah lainnya, seperti rusa atau kijang, dalam mencari makan, terbantahkan oleh kebiasaan jerapah yang menyukai dedaunan berdasarkan jenis, bukan ketinggian.Bahkan hipotesis terbaru soal asal-usul leher panjang itu kini juga terpaksa gigit jari. Dalam Journal of Zoologi yang terbit online pada 17 April lalu, tim peneliti gabungan dari Amerika Serikat dan Afrika Selatan menyangkal kalau evolusi leher panjang tak ada kaitannya sama sekali dengan sinyal dan dominasi seksual di antara jenis jerapah. "Kami tidak menemukan perbedaan signifikan antara morfologi jerapah jantan dan betina," bunyi bagian akhir dari abstrak penelitian tim gabungan tersebut. "Seleksi seksual bukanlah asal-usul leher panjang dalam dunia jerapah."Tim peneliti itu terdiri atas Profesor Graham Mitchell dari University of Wyoming di Laramie, Amerika Serikat, serta koleganya, Profesor John Skinner dan Dr S.J. van Sittert dari University of Pretoria di Afrika Selatan. Ketiganya tergoda melakukan pembuktian atas teori terbaru tentang asal-usul evolusi leher jerapah karena mereka mengakui soal yang satu ini masih penuh teka-teki.Ide seleksi seksual--bukan seleksi alam--menyatakan bahwa dari generasi ke generasi leher jerapah jantan berevolusi semakin panjang sebagai bentuk persaingan di antara mereka dalam menarik perhatian jerapah betina. Fakta adanya gulat unik saling jepit leher dan adu kepala--jerapah jantan berleher paling panjang dan kepala paling berat atau berisi yang biasanya menang--diajukan sebagai bukti pendukung teori itu.Berdasarkan teori tersebut, Profesor Mitchell dan koleganya berpikir, semestinya jerapah jantan berinvestasi lebih untuk pertumbuhan di bagian leher dan kepalanya daripada yang betina. Itulah sebabnya mereka lalu meneliti 17 jerapah jantan dan 21 yang betina, dari berbagai usia, untuk mengukur massa kepala, massa leher, panjang leher, panjang kaki, dan rasio antara panjang leher dan kepalanya.Sekali lagi, jika teori ini benar, Profesor Mitchell dan koleganya berharap mendapatkan beberapa kesimpulan berikut: leher jerapah jantan lebih panjang daripada yang betina, leher yang tumbuh berevolusi lebih besar daripada organ tubuh lainnya, dan leher itu sendiri yang tidak langsung memberi keuntungan dalam bertahan hidup, sebaliknya malah bisa menjadi beban.
Ternyata asumsi-asumsi tersebut tak dapat dibuktikan dalam studi yang sudah dilakukan, dan hasilnya dimuat dalam Journal of Zoology. Profesor Mitchell dan timnya tidak bisa menemukan perbedaan signifikan dalam hal ukuran relatif antara leher jerapah jantan dan betina.
"Kami tidak menemukan perbedaan signifikan dalam ukuran-ukuran itu di antara mereka, yang jantan dan betina, dengan massa yang sama," bunyi hasil studi tersebut.
Studi itu memang mengungkap bahwa Jerapah berinvestasi lebih untuk pertumbuhan lehernya ketimbang bagian tubuh lain, tapi itu sama-sama dilakukan oleh jerapah jantan maupun betina. Tidak ada perbedaan khusus. Tambahan lagi, sangat sedikit bukti yang dapat dihimpun untuk menyatakan leher panjang adalah beban untuk mereka yang jantan.
Dengan gugurnya teori terbaru ini, Mitchell dan kawan-kawan menuliskan bahwa kenapa leher jerapah panjang dan apa keuntungan sebenarnya yang dinikmati jerapah dengan lehernya yang panjang masih misteri. "Penjelasan yang lebih baik daripada soal perbedaan seksual harus dicari," tulis mereka. WURAGIL | BBC | JOURNAL OF ZOOLOGY
Banyak tapi Sedikit
Hewan tertinggi di dunia, jerapah, boleh jadi terdiri atas beberapa spesies. Sebuah studi genetik yang dilakukan akhir tahun lalu menunjukkan setidaknya ada enam spesies jerapah di habitatnya, Afrika.
Saat ini jerapah dikenal cuma satu spesies, Giraffa camelopardalis, yang lalu terbagi-bagi menjadi sembilan subspesies. Hasil studi molekuler itu menunjukkan variasi geografis dalam pola warna kulit bulu adalah bukti berlakunya isolasi reproduktif di antara jerapah-jerapah di sub-Sahara, Afrika.
"Hasil studi ini mengejutkan karena meski jerapah-jerapah memang terlihat berbeda, kalau mereka ditempatkan dalam satu kebun binatang, mereka akan berbiak dengan bebas," kata David Brown, ahli genetik di University of California Los Angeles (UCLA), ketua tim studi.
Studi yang sama juga menemukan dua subspesies jerapah yang hidup berdekatan--jerapah kotak-kotak jala (Giraffa camelopardalis reticulate) di Kenya Utara dan jerapah Maasai (Giraffa camelopardalis tippelskirchi) di Kenya Selatan--mulai mengalami percabangan evolusi 0,5 sampai 1,5 juta tahun yang lalu.
Temuan ini dianggap menarik karena jerapah adalah hewan yang bergerak aktif. Jarak jelajah mereka sering kali lebih dari beberapa ratus kilometer persegi. Secara garis lurus, kaki-kaki jangkung hewan ini bisa diajak long march 50-300 kilometer.
"Tidak ada sungai atau hutan yang membatasi gerak mereka, tapi beberapa proses evolusioner menjaga kedua kelompok itu bereproduksi sendiri-sendiri," kata Brown.
Brown mengungkapkan, arti penting konservasi juga muncul dari hasil studinya itu. Menurut dia, mengelompokkan seluruh jenis jerapah ke dalam satu spesies sama saja menafikan kenyataan kalau populasi beberapa jenis jerapah saat ini sudah mendekati kepunahan. "Beberapa dari populasi itu ada yang tinggal beberapa ratus ekor saja dan butuh perlindungan segera," katanya.
Brown mencatat, dalam beberapa dekade belakangan populasi jerapah menurun 30 persen. Jumlah mereka saat ini seluruhnya diperkirakan 100 ribu ekor. Mereka yang paling membutuhkan perlidungan adalah jerapah Nigeria (Giraffa camelopardalis peralta), yang tersisa 160 individu, dan jerapah Rothschild (Giraffa camelopardalis rothschildi), yang bisa ditemukan beberapa ratus ekor saja di taman nasional di Kenya dan Uganda.
Jerapah
Bentuk tubuh dan pola warna pada bulu membuatnya mendapat nama camelopardalis atau camelopard. Kata itu berakar dari Romawi yang artinya gabungan dari unta dan macan tutul.
Jerapah, hewan tertinggi di dunia dan herbivora pengunyah dua kali (ruminantia) terbesar (beratnya bisa satu ton), sebenarnya masih ada hubungan dengan rusa dan sapi. Tapi jerapah menempati klasifikasi keluarga yang berbeda, yakni Giraffidae. Dalam keluarga ini hanya ada jerapah dan okapi.
Jerapah, yang populasinya tersebar mulai Chad di Afrika Tengah sampai Afrika Selatan, biasanya merumput dalam kawanan yang terpisah-pisah. Daya jelajahnya sangat luas, bisa ratusan kilometer persegi. Adapun kaki-kaki jangkungnya membuat jerapah bisa berlari secepat 55-56 kilometer per jam.
Jerapah memanfaatkan benar kelebihan tinggi tubuhnya yang bisa mencapai 6 meter untuk menjangkau dedaunan dan pucuk pohon yang tidak bisa diraih hewan lain. Bukan cuma leher dan kakinya yang panjang, lidahnya juga bisa menjulur setengah meter demi bisa mencecap batang-batang Akasia kegemarannya.
Berikut ini adalah profil hewan yang pola warna di bulunya unik bak sidik jari--satu individu dengan individu yang lain tidak ada yang sama--selengkapnya,
Panjang usia: 25 tahun
Distribusi: sub-Sahara Afrika
Habitat: padang rumput terbuka yang diselingi pepohonan
Makanan: daun-daun pohon yang tinggi, terutama Akasia dan Commiphora
Perilaku: kawanannya lepasan atau terpencar-pencar, setiap kelompok bisa terdiri atas 20 ekor. Jerapah jantan dewasa biasanya merumput sambil mencari pasangan dan berkelahi dengan pejantan lain menggunakan leher dan tulang tanduk kecil di tengkoraknya.
Reproduksi: jerapah jantan mengecek status jerapah betina yang ingin dikawininya lewat urine sebelum mengawininya di bawah terik matahari. Usia kandungan mencapai 15 bulan sebelum seekor bayi jerapah lahir ke dunia. Proses persalinan dilewati sambil berdiri sehingga, agak kasar memang, si bayi jatuh dari ketinggian lebih dari 1,5 meter. Selama beberapa minggu pertama, bayi itu masih harus hidup di bawah bayangan tubuh sang induk.
Status: aman, meski di Afrika Barat sudah mulai berkurang.
Subspesies: Afrika Barat (G. c. peralta), Kordofan (G. c. antiquorum), Nubian (G. c. camelopardalis), Somalia atau kotak-kotak jala (G. c. reticulate), Rothschild (G. c. rothchildi), Kilimanjaro atau Masai (G. c. tippelskirchi), Thornicroft (G. c. thornicrofti), dan Afrika Selatan (G. c. capensis dan angolensis)(Tempo)
Ternyata asumsi-asumsi tersebut tak dapat dibuktikan dalam studi yang sudah dilakukan, dan hasilnya dimuat dalam Journal of Zoology. Profesor Mitchell dan timnya tidak bisa menemukan perbedaan signifikan dalam hal ukuran relatif antara leher jerapah jantan dan betina.
"Kami tidak menemukan perbedaan signifikan dalam ukuran-ukuran itu di antara mereka, yang jantan dan betina, dengan massa yang sama," bunyi hasil studi tersebut.
Studi itu memang mengungkap bahwa Jerapah berinvestasi lebih untuk pertumbuhan lehernya ketimbang bagian tubuh lain, tapi itu sama-sama dilakukan oleh jerapah jantan maupun betina. Tidak ada perbedaan khusus. Tambahan lagi, sangat sedikit bukti yang dapat dihimpun untuk menyatakan leher panjang adalah beban untuk mereka yang jantan.
Dengan gugurnya teori terbaru ini, Mitchell dan kawan-kawan menuliskan bahwa kenapa leher jerapah panjang dan apa keuntungan sebenarnya yang dinikmati jerapah dengan lehernya yang panjang masih misteri. "Penjelasan yang lebih baik daripada soal perbedaan seksual harus dicari," tulis mereka. WURAGIL | BBC | JOURNAL OF ZOOLOGY
Banyak tapi Sedikit
Hewan tertinggi di dunia, jerapah, boleh jadi terdiri atas beberapa spesies. Sebuah studi genetik yang dilakukan akhir tahun lalu menunjukkan setidaknya ada enam spesies jerapah di habitatnya, Afrika.
Saat ini jerapah dikenal cuma satu spesies, Giraffa camelopardalis, yang lalu terbagi-bagi menjadi sembilan subspesies. Hasil studi molekuler itu menunjukkan variasi geografis dalam pola warna kulit bulu adalah bukti berlakunya isolasi reproduktif di antara jerapah-jerapah di sub-Sahara, Afrika.
"Hasil studi ini mengejutkan karena meski jerapah-jerapah memang terlihat berbeda, kalau mereka ditempatkan dalam satu kebun binatang, mereka akan berbiak dengan bebas," kata David Brown, ahli genetik di University of California Los Angeles (UCLA), ketua tim studi.
Studi yang sama juga menemukan dua subspesies jerapah yang hidup berdekatan--jerapah kotak-kotak jala (Giraffa camelopardalis reticulate) di Kenya Utara dan jerapah Maasai (Giraffa camelopardalis tippelskirchi) di Kenya Selatan--mulai mengalami percabangan evolusi 0,5 sampai 1,5 juta tahun yang lalu.
Temuan ini dianggap menarik karena jerapah adalah hewan yang bergerak aktif. Jarak jelajah mereka sering kali lebih dari beberapa ratus kilometer persegi. Secara garis lurus, kaki-kaki jangkung hewan ini bisa diajak long march 50-300 kilometer.
"Tidak ada sungai atau hutan yang membatasi gerak mereka, tapi beberapa proses evolusioner menjaga kedua kelompok itu bereproduksi sendiri-sendiri," kata Brown.
Brown mengungkapkan, arti penting konservasi juga muncul dari hasil studinya itu. Menurut dia, mengelompokkan seluruh jenis jerapah ke dalam satu spesies sama saja menafikan kenyataan kalau populasi beberapa jenis jerapah saat ini sudah mendekati kepunahan. "Beberapa dari populasi itu ada yang tinggal beberapa ratus ekor saja dan butuh perlindungan segera," katanya.
Brown mencatat, dalam beberapa dekade belakangan populasi jerapah menurun 30 persen. Jumlah mereka saat ini seluruhnya diperkirakan 100 ribu ekor. Mereka yang paling membutuhkan perlidungan adalah jerapah Nigeria (Giraffa camelopardalis peralta), yang tersisa 160 individu, dan jerapah Rothschild (Giraffa camelopardalis rothschildi), yang bisa ditemukan beberapa ratus ekor saja di taman nasional di Kenya dan Uganda.
Jerapah
Bentuk tubuh dan pola warna pada bulu membuatnya mendapat nama camelopardalis atau camelopard. Kata itu berakar dari Romawi yang artinya gabungan dari unta dan macan tutul.
Jerapah, hewan tertinggi di dunia dan herbivora pengunyah dua kali (ruminantia) terbesar (beratnya bisa satu ton), sebenarnya masih ada hubungan dengan rusa dan sapi. Tapi jerapah menempati klasifikasi keluarga yang berbeda, yakni Giraffidae. Dalam keluarga ini hanya ada jerapah dan okapi.
Jerapah, yang populasinya tersebar mulai Chad di Afrika Tengah sampai Afrika Selatan, biasanya merumput dalam kawanan yang terpisah-pisah. Daya jelajahnya sangat luas, bisa ratusan kilometer persegi. Adapun kaki-kaki jangkungnya membuat jerapah bisa berlari secepat 55-56 kilometer per jam.
Jerapah memanfaatkan benar kelebihan tinggi tubuhnya yang bisa mencapai 6 meter untuk menjangkau dedaunan dan pucuk pohon yang tidak bisa diraih hewan lain. Bukan cuma leher dan kakinya yang panjang, lidahnya juga bisa menjulur setengah meter demi bisa mencecap batang-batang Akasia kegemarannya.
Berikut ini adalah profil hewan yang pola warna di bulunya unik bak sidik jari--satu individu dengan individu yang lain tidak ada yang sama--selengkapnya,
Panjang usia: 25 tahun
Distribusi: sub-Sahara Afrika
Habitat: padang rumput terbuka yang diselingi pepohonan
Makanan: daun-daun pohon yang tinggi, terutama Akasia dan Commiphora
Perilaku: kawanannya lepasan atau terpencar-pencar, setiap kelompok bisa terdiri atas 20 ekor. Jerapah jantan dewasa biasanya merumput sambil mencari pasangan dan berkelahi dengan pejantan lain menggunakan leher dan tulang tanduk kecil di tengkoraknya.
Reproduksi: jerapah jantan mengecek status jerapah betina yang ingin dikawininya lewat urine sebelum mengawininya di bawah terik matahari. Usia kandungan mencapai 15 bulan sebelum seekor bayi jerapah lahir ke dunia. Proses persalinan dilewati sambil berdiri sehingga, agak kasar memang, si bayi jatuh dari ketinggian lebih dari 1,5 meter. Selama beberapa minggu pertama, bayi itu masih harus hidup di bawah bayangan tubuh sang induk.
Status: aman, meski di Afrika Barat sudah mulai berkurang.
Subspesies: Afrika Barat (G. c. peralta), Kordofan (G. c. antiquorum), Nubian (G. c. camelopardalis), Somalia atau kotak-kotak jala (G. c. reticulate), Rothschild (G. c. rothchildi), Kilimanjaro atau Masai (G. c. tippelskirchi), Thornicroft (G. c. thornicrofti), dan Afrika Selatan (G. c. capensis dan angolensis)(Tempo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar