Kamis, 03 November 2011

LOVE YOU DAD




“Ayah?”
“hmm?”
Seorang anak kecil berusia 5 tahun duduk di pangkuan sang Ayah sambil menengadah dengan kedua matanya yang bercahaya, “Nanti kalau aku sudah besar, aku ingin menjadi Dokter!” katanya bersemangat
Sang Ayah tersenyum lembut mendengar cita cita anaknya lalu mengusap halus rambut anak itu, “Bagus!! Ayah dukung cita citamu….Jadilah apapun yang kau mau….Ayah akan ada di belakangmu” janjinya
Sambil berusaha berdiri di atas tumpuan kedua lutut ayahnya, sang anak kembali tersenyum lebar sebelum mengalungkan kedua tangannya di bahu sang ayah, “Aku paling sayang Ayah!!!” teriaknya kencang
“Hahaha….Ayah juga selalu sayang padamu…..” jawab ayahnya dari lubuk hati terdalam

*****

“Aku tidak mau!! kenapa Ayah selalu memaksa?? Apa Ayah tidak bisa memberikanku kebebasan??” bentak Sang anak ketika beranjak remaja. Wajahnya merah karena marah dan terus beradu pendapat dengan Ayahnya sendiri
“Bukan begitu! Tapi apa pantas kau pulang selarut ini?? berbohong kepada orangtua kalau sedang belajar di rumah teman ternyata malah sedang pacaran? Ha!” balas Ayahnya tidak terima
Sang anak tidak bisa berkelit lagi. Ini pertama kalinya ia berbohong kepada Ayahnya sendiri.
Menyesal? Tentu!
Tapi keegoisan dan rasa kebebasannya yang menyelimuti usia remajanya membuat sang anak menggerutu untuk menyuarakan pendapatnya yang salah
“Argh!! Ayah memang tidak mengerti diriku!!!” erang sang Anak memutuskan kembali ke dalam kamar. Mengurung diri di sana dan menumpahkan rasa kesalnya yang meluap
Sementara sang Ayah?
Dia terduduk, menundukkan kepala.
Hari hari yang ia takutkan akhirnya datang. Tapi sang Ayah ini menggelengkan kepala kuat kuat.
Tidak!! Dia tidak akan menyerah! Dia akan terus membimbing anaknya meski butuh kesabaran eksta menghadapinya sekarang….
Tetapi itu adalah anaknya, kebanggaannya……meski sang ayah tidak sedekat sang Ibu tapi rasa sayangnya begitu besar
Sangat besar sehingga sang Ayah mulai membebaskan sang anak—memberikannya hak yang selama ini ia tunda untuk di berikan
Jam malam….

*****

“Hahaha~ Iya Bu…aku mencintainya….”
“Tapi kau jangan terbuai sama asmara saja…ingat kuliah kedokteranmu—itu butuh konsentrasi penuh”
“Baik bu!”
Kedua orang tersebut saling bercanda tawa—membagi keceriaan di ruang tamu selagi sang Ayah menatap nanar ke arah anaknya.
Dan ketika Ayahnya sengaja terbatuk untuk menghampiri mereka, wajah sang anak berubah kaku. Ia mendadak berdiri—hendak pergi karena tidak mau berada satu ruangan dengan Ayahnya sendiri
“Mau kemana kamu?” bisikan Ayahnya berhasil menghentikan langkah sang anak
Suasana yang tadinya hangat berubah kaku. Sang Ibu yang masih duduk di sofa, terdiam. Bingung ingin membela siapa. Suaminya atau anaknya?
Sang anak tersenyum sinis, “Mau pergi, aku malas satu ruangan dengan Ayah” katanya terus terang
DEG
Jantung sang Ayah berdetak cepat dan terasa begitu ngilu serta menyakitkan
Sang Ayah berusaha tetap tegar sambil memasang wajah datarnya yang tidak pernah menunjukkan emosi apapun, “Kenapa? Apakah kau—“
“Alah! Seperti aku tidak tahu Ayah saja! Ayah pasti ingin bilang bukan, ‘Jauhi lelaki brengsek itu! Dia bukan orang yang pantas untukmu!’ ya kan? Ayah!” sindir sang anak mulai tersulut emosi
Dada Sang Ayah kembali bergetar….sakit…sakit sekali…
Bibirnya yang kasar terbuka pelan pelan, “Memang” kata sang ayah membenarkan, “Sekali lihat Ayah sudah tahu—dia lelaki brengsek, kau saja yang tidak mau mendengarkan!”
“Oh?” sang anak berani mendekatkan diri—berhadap hadapan dengan Ayahnya, “Kenapa Ayah selalu membenci setiap lelaki yang kubawa kerumah?? Ayah tidak suka aku memiliki pacar??”
Bukan begitu nak…hanya saja….Ayah tahu mereka belum menjadi yang terbaik untukmu….
Ingin sekali sang Ayah mengatakan seperti itu di depan anaknya. Tapi sikap kakunya dan bibirnya yang tidak bisa berkata melembut ketika sedang marah membuat anaknya semakin membencinya….
“Terserah!!” sang Ayah mengibaskan tangan kanannya, “Kalau itu maumu! Silahkan saja!! Ayah tidak akan ikut campur lagi!!”
“Ayah—“ bisik Sang ibu merasa sekarang waktunya menghentikan adu pendapat ini
“Tidak Ibu! Biarkan saja, anakmu ini mau apa!!” tangannya bergetar saat menunjuk wajah anaknya, “Tapi jangan anggap aku Ayahmu lagi!”
Wajah sang anak berubah memucat. Ia tidak tahu harus berkata apa apa lagi.
Dengan sikap canggung sang anak berjalan menjauh dan meninggalkan kedua orangtuanya yang masih mematung di tempat
Keluarga kecil mereka sudah berubah total

*****

“Ayah sudah berubah!” sang anak terus menulis di diary dari dalam kamar. Sepanjang hari ia tidak melakukan kegiatan apapun, bahkan ia memutuskan bolos kuliah karena perasaannya sedang kacau hari ini
“Kenapa Tuhan….kenapa Ayahku yang pelembut berubah sangar seperti itu…kenapa….padahal aku berusaha mewujudkan cita citanya yang ingin melihatku lulus sebagai dokter. Tapi apa? Kenapa dia malah….” Sang anak menutup mulutnya—menahan isakan tangis yang tidak mau di dengar siapapun.
Satu sisi sang anak merasa ada yang salah dengan sikap sang Ayah
Tapi di sisi lain…
Sang Ayah berlutut di dalam kamarnya. Menengadahkan kepala ke atas langit langit kamar.
“Tuhan….apakah aku sudah gagal menjadi orangtua? Kenapa anakku sendiri begitu keras kepala dan tidak mau mendengarkan ucapanku? Apakah aku terlalu keras padanya?” pertanyaan demi pertanyaan ia utarakan—menumpahkan segalanya dalam keheningan malam.
Kedua mata besarnya itu mulai mengeluarkan air mata yang menggenangi wajah tuanya. Sesaat sang ayah nampak begitu lemah dan tidak berdaya
Dalam keadaan seperti itu. Jantungnya kembali berdetak kencang. Rasa sakitnya menjadi jadi. Sang Ayah akhirnya berhenti berdoa lalu berbaring ke atas kasur dengan satu tangan menggenggam kemejanya.
Sang Ayah merasakan firasat buruk….
“Tidak Tuhan…Ijinkan aku melihat anakku menjadi seorang Dokter sebelum Kau mengambilku…kumohon…hanya itu pintaku….biarkan aku memenuhi janjiku sewaktu ia kecil….janji bahwa aku akan selalu ada di sampingnya hingga ia menggapai cita citanya…kumohon….” Desisnya pelan pelan semakin hilang.
Suaranya memudar di ganti dengan desahan halus yang keluar dari bibirnya. Tubuhnya mulai rileks dan tangannya sudah terlepas mencengkram kemejanya sendiri…

*****

“Selamat ya!!! Elo akhirnya jadi Dokter juga!!” seru salah satu teman sang anak sambil memeluk tubuhnya erat erat
“Hehehe—makasih” sang anak melepaskan pelukan mereka sambil melirik ke arah sudut ruangan sebuah ball room terkenal—tempat di mana sang anak menjalani wisudanya, “gw mau ketemu orangtua gw dulu”
“Oh—silahkan” sang teman mengerti. Ia melambai sekali lagi sebelum membiarkan keluarga kecil itu berkumpul di sana.
Sang anak berlari mendekati Ibunya terlebih dahulu, memeluknya erat sambil menahan haru, “Ibu aku lulus! Aku sekarang menjadi Dokter…” bisiknya penuh rasa bahagia
Sang Ibu yang memang gampang tersentuh, mengelus rambut anaknya yang tertutup toga wisudanya, “Ibu bangga padamu” ucapnya dengan suara parau
Tidak lama, mereka melepaskan pelukannya, saling membagi tatapan sendu sebelum sang anak akhirnya menarik nafas saat berjalan menghampiri Ayahnya
Ayahnya menyambut sang anak dengan rasa canggung. Walau ada rasa sakit luar biasa di dadanya, tapi ia tetap menahannya—menahannya selama mungkin agar tidak membuat hari bahagia sang anak berubah kelam
“Ayah—“
Sang anak tiba tiba memeluk tubuh Ayahnya erat—terlalu erat sehingga sang ayah perlu menarik tubuh anaknya agar tidak terlalu menghimpit dadanya yang semakin terasa nyeri
“Maaf Ayah sedang tidak enak badan” katanya memberi alasan—takut sang anak takut dengan penolakannya
Tapi sang anak tidak mendengar itu. Senyumnya semakin melebar sambil memegang kedua tangan Ayahnya yang dulu sering menggendongnya ketika ia kecil, “Aku yang seharusnya minta maaf Ayah…maaf…Maafkan aku…” pintanya pelan
Ayah memandang wajah anaknya dengan perasaan bingung, “Kamu kenapa mendadak—“
“Ayah benar! Lelaki itu brengsek!” potong sang anak menceritakan semuanya, “Dia hanya memanfaatkanku…..aku—“ sang anak menggeleng lemah, “tidak seharusnya aku melawan Ayah…..aku bahkan harus bertengkar dengan Ayah hanya demi membela dia! Tidak! Kali ini aku berjanji Ayah, aku akan menuruti semua nasihat Ayah tanpa membantahnya terus menerus..” di remasnya kedua tangan mereka yang saling bertautan sementara kepala sang anak tertunduk dalam dalam sebagai bentuk permohonan maafnya
DEG
Dari dalam tubuh sang Ayah ada bunyi gemuruh yang menghentak semakin kencang. Sang ayah tahu, umurnya tidak akan lama lagi. Cepat cepat ia memeluk anaknya, tidak memperdulikan rasa sakit yang semakin membuat tubuhnya lemah.
Tidak! Dia berusaha menahan itu—menahan ajalnya yang sebentar lagi tiba….
“Ayah….” Tanpa merasa malu, sang ayah mulai terisak kecil dalam pelukan anaknya, “Ayah juga minta maaf—karena lebih sering mengedepankan keegoisan orangtua ketimbang membimbingmu selama ini, maaf”
Tadinya sang anak agak terperangah melihat sikap ayahnya yang tidak biasa. Namun akhirnya ia membalas pelukan hangat sang ayah, “Ayah tidak salah…..aku yang salah…..” kedua tangannya yang mungil memegang kedua sisi wajah sang ayah supaya bisa menatapnya dari dekat sebelum berbisik pelan, “Aku sayang padamu Ayah…”

DEG DEG DEG
Jantung Ayah kembali bertalu talu seakan akan menandakan takdirnya yang sebentar lagi akan berakhir…
“Ayah juga….” Sang Ayah menahan nafas. Kembali, ia memegang dadanya dengan sebelah tangan kemudian terjatuh pingsan dalam pelukan anaknya
“Ayah…” Sang anak berusaha membantu sang ayah berdiri, tapi sayang tubuh tegap Ayahnya tidak bergerak lagi
“Ayah…Ibu!!!” teriaknya kencang bercampur rasa panik. Mendadak rasa takut itu tiba. Lagi lagi ia memapah tubuh Ayahnya di bantu dengan beberapa siswa lain yang melihat peristiwa itu ke salah satu bangku panjang di depan pintu keluar
Di sana, sang anak yang bertitle dokter langsung membuka kemeja ayahnya, memeriksa detak jantung, nadi dan jaringan syaraf di leher sang ayah
Ia tertegun diam seribu bahasa
“bagaimana?? Apa yang terjadi??” desak sang Ibu
“Hiks…” Sang anak menundukkan kepala, meremas kemeja putih sang ayah tanpa bisa berbuat apa apa lagi, “TIDAK!!! KUMOHON BANGUN!! BANGUN…..BANGUN!! AYAH….kumohon….” jeritan sang anak terdengar begitu pilu—membahana ke seluruh sudut hall mewah tersebut
Semua orang diam. Ikut merasakan suasana duka dari keluarga kecil itu.
Sang Ibu terduduk di samping anaknya, berusaha menenangkan sang anak tapi di satu sisi rasa sedihnya mulai menjalar keseluruh tubuhnya. Dengan satu tangan yang bebas, sang Ibu mengelus wajah suaminya untuk terakhir kali sebelum mencium pipinya, “aku merelakanmu…” bisiknya berusaha lebih tegar.

Entah berapa lama tangis anaknya baru berhenti. Yang ia tahu, tubuhnya berakhir di rumah sakit. Kata Dokter senior sang anak mengalami tingkat depresi berat
Butuh berminggu minggu hingga sang Ibu berhasil menyembuhkan rasa kehilangan sang anak agar dia mau pulang kembali ke rumah mereka
Rumah mereka yang sepi tanpa sang ayah.
Dan saat itulah sang anak baru menyadari betapa berharganya keberadaan sang ayah yang ia nilai selama ini tidak penting
Sikap kerasnya, suara membentaknya dan wajah teduh itu….
Lagi lagi sang anak menangis. Ia menangis dan terus menangis. Seluruh kenangan Ayahnya terus berputar dalam benaknya. Tatapan sembabnya teralih ke sebuah ayunan mungil di belakang rumah
Ayunan yang sering menjadi tempat main sang anak dan sang ayah sewaktu sang anak baru berumur 5 tahun
Waktu di mana sang anak mengutarakan keinginannya menjadi seorang dokter dan saat itulah sang ayah tersenyum mendengar ucapannya, mendukungnya seratus persen hingga kemarin ia di wisuda.
Ayahnya telah memenuhi janjinya
“Tapi Ayah sekarang pergi…” bisik sang anak seorang diri, “kenapa harus sekarang Ayah?….aku belum memenuhi satu janjiku lagi padamu..” ia menyeret tubuhnya naik ke atas ayunan, bersandar pada salah satu tiang—masih berwajah sembab sehabis menangis
Sang anak mengelus permukaan ayunan yang sudah di makan usia tersebut. Ia tersenyum setiap kali mengingat Ayahnya tidak pernah membuang ayunan kesayangannya ini.
Banyak kenangan yang terjadi di sini. Kenangan khusus mereka berdua….
“Ayah…” katanya berbicara pada suara angin di siang hari, “Aku belum membahagiakanmu…aku hanya ingin membahagiakanmu…..ingin melihatmu tersenyum bangga padaku dan mengelus kepalaku seperti waktu kecil….tapi sekarang…”

BRAKKKKKKK
Sebuah foto berbingkai tiba tiba jatuh dari atas rak guci di dalam rumah—tidak jauh dari pintu belakang.
Sang anak berhenti menangis. Ia memandangi rumah yang dalam keadaan kosong karena Ibunya sedang pergi keluar, “Siapa itu!!” ucapnya agak ketakutan.
Tidak ada jawaban
Mungkin angin. Pikir sang anak lalu memberanikan diri masuk ke rumah, memunguti benda jatuh itu.
“Ini kan??” Kedua bola mata sang anak melebar. Di tangannya sekarang adalah sebuah foto lama di mana Ayahnya dan dia di foto oleh Ibunya saat berada di ayunan belakang rumah.
Foto di mana sang ayah merangkulnya hangat sambil memangku sang anak dari belakang
Senyum langka sang anak mulai mengembang di bibirnya. Tanpa sadar kepalanya menggeleng ke kanan kiri—mencari sesosok yang sudah meninggalkannya, “Ayah…” bisiknya yakin
Di ambil foto itu lalu di bawa kembali ke ayunan kemudian melihatnya tanpa rasa bosan
“Aduh, bingkainya rusak lagi..” sang anak melirik ke salah satu penutup kayu hitam yang mulai terlepas, “berarti aku harus beli yang baru” ucapnya lagi sambil sibuk melepaskan semua bagian bingkai dan mengeluarkan foto itu
Ia meraba hati hati—menangkap kenangan yang tertangkap di sana. Tanpa sengaja sang anak membalikkan foto bagian belakangnya….
“Ini…” bisiknya tidak percaya
Ia mengelus tulisan sederhana di sana—sebuah tulisan ayahnya yang ia kenal baik. Tulisan yang sudah usang di makan waktu tapi tetap memberikan suatu kekuatan bagi anaknya sampai hari ini…

‘Ayah selalu bangga padamu’
“Ayah….” Sang anak kembali menangis. Di peluknya foto itu secara hati hati dalam dadanya. Perlahan lahan, wajah sang anak menengadah ke langit biru. Ia tersenyum tipis memandang seseorang yang mungkin sedang melihatnya dari balik awan awan itu
Dengan lantang ia berkata, “AYAH!!! AKU JUGA!! AKU BANGGA KAU ADALAH AYAHKU!!!” suaranya yang serak membuat sang anak akhirnya kembali mengambil nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya, “Aku akan selalu bangga Ayah……karena aku tahu kau mencintaiku…”
Kali ini sang anak tersenyum. Bukan senyum penuh keterpaksaan atau senyum sedih seperti yang tadi ia tunjukkan
Tetapi senyum keikhlasan tentang kepergian Ayahnya, “Rest in peace Daddy…”

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar